Jumat, 22 Juli 2011

Buku Harian Sahabatku

Terdengar adzan subuh berkumandang. Ayam jago telah bernyanyi, namun mentari masih malu-malu untuk menampakan dirinya. Aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Pagi itu masih pukul lima. Ku buka gorden biru muda yang ada di kamarku dan ku buka jendela kamarku. Begitu sejuk udara pagi itu. Kamar tidur yang masih berantakan harus segera ku rapikan. Bergegas ku pergi ke kamar mandi, sholat dan bersiap untuk aktivitas hari itu.
            Hari itu hari Minggu, jadi sekolah libur. Aku bersiap-siap untuk membereskan rumahku. Saat itu terdengar suara memanggilku,
”Caca…Caca…,” ternyata suara itu adalah salah satu sahabatku yaitu Vira. Aku mempunyai tiga orang sahabat yang selalu bersamaku, mereka Intan, Vira, dan Rara. Vira lah yang rumahnya paling dekat denganku.
“Eh… kamu Vir, ada apa ya? tumben kamu minggu-minggu ke rumahku, pagi-pagi lagi, ada apa?”
“Iya nih… Ca, mumpung hari libur, lari pagi yuks!”
“Hah? lari pagi?, ngga salah tuh?, ntar dulu ya, aku siap-siap dulu”
Aku pun bergegas untuk lari pagi bersama Vira. Ku letakkan sapu dan kemoceng yang sedang ku pegang dan berlari menuju Vira.
“Ca, kita ke rumah Intan dan Rara ya… biar ramai lari paginya,” ajak Vira dengan nada gembira.
Oke Vir….”
Akhirnya aku dan Vira berlari-lari kecil menuju ke rumah Intan dan Rara yang lumayan jauh dari rumah kami. Walaupun rumah Intan dan Rara lumayan jauh dari rumahku dan Vira, tetapi masih dalam satu komplek. Aku dan Vira telah sampai di rumah Intan.
“Intan… Intan…”
Krek…krek….slereeek…”, Intan membuka pintu,”Eh…kalian, ada apa? tumben?”
“Iya nih tan, si Vira tiba-tiba ngajak lari pagi,” jawabku dengan nada agak mengejek Vira.
“Iya, mumpung hari libur, gitu. Pengen aja lari pagi bareng kalian, kan selama ini nggak pernah”, Vira membela diri.
“Ya sudah, sebentar dulu,” Intan setuju dan menutup pintu rumahnya.
Saat kami sedang mengobrol dan hendak menuju ke rumah Rara, tiba-tiba tanpa diundang Rara datang menghampiri kami.
“Hey…kalian mau kemana? Aku mendengar kalian bercakap-cakap, langsung saja aku ke sini”
“Oh…kebetulan Ra, kita hapir saja ke rumahmu, eh kamu malah sudah ke sini, ya sudah. Kita mau lari pagi, ikut ya” sahut Vira.
Akhirnya Kami berempat berlari pagi mengelilingi komplek rumah kami. Setelah satu jam berlari pagi, kami pun pulang. Pukul setengah delapan aku sampai di rumah dan melanjutkan untuk bersih-bersih rumah.
*****
Hari Minggu telah berlalu. Saatnya aku dan ketiga sahabatku untuk berangkat ke sekolah. Aku dan ketiga sahabatku adalah anak kelas satu di SMA Nusantara. Kami berempat kebetulan satu kelas, sehingga kami kemana-mana selalu bersama dan menjadi tambah akrab.
Pukul setengah tujuh, aku dan ketiga sahabatku berangkat bersama menuju ke sekolah. Kami berangkat menggunakan angkot yang selalu melewati depan komplek rumah kami dan berhenti di depan sekolah persis.
“Akhirnya, sampai juga di sekolah” kata Vira sambil membenarkan rambutnya yang acak-acakan. Maklum si Vira kan belum memaki jilbab. Jadi, dia selalu peduli sama rambutnya(J).
“Iya, syukurlah. Eh…ngomong-ngomong hari ini ada PR apa nggak ya?” tanya Intan sambil berjalan menuju ke kelas kami.
“Kayaknya sih ngga ada,” Jawab Vira. Melihat Rara yang diam saja dari tadi, Vira bertanya,”Ra, kamu kok diam aja dari tadi?, ngomong donk.”
“Iya Ra, kamu kenapa? sakit?” tanyaku sedikit bingung. Namun, anak yang terkenal paling pintar di kelas kami ini hanya terdiam tanpa kata sambil menggelengkan kepalanya. Aku menjadi tambah bingung. Sebenarnya Rara kenapa?.
Beberapa lama kemudian, kami sampai di kelas kami. Aku langsung meletakkan tasku di meja tempat dudukku. Kali ini aku kebagian duduk dengan Rara, sedangkan Vira dengan Intan. Belum sempat kami mengobrol di kelas, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi cukup keras terdengar di kelas kami,”tet…tet…tet…” Ternyata jam telah menunjukkan pukul tujuh. Aku pun segera duduk di tempat dudukku. Teman-temanku yang lain pun begitu. Tak lama kemudian, seorang guru yang merupakan wali kelas kami masuk ke kelas kami. Padahal jam pertama saat itu adalah Matematika, dan saat wali kelas kami masuk ke kelas ternyata ada hal yang lain, yaitu ada anak laki-laki yang seumuran kami mengikuti wali kelas kami menuju kelas kami. Ternyata anak laki-laki itu adalah anak pindahan alias anak baru yang namanya Putra.
“Eh… ada anak baru nih di kelas kita, kelihatannya sih pintar, jadi saingan kamu tuh Ra,” kata salah satu teman sekelasku yang terkenal agak menyebalkan dan sombong. Namanya Irni,”makannya, jadi orang tuh jangan sok pinter deh, masih ada yang lebih pinter dari kamu!.”
Mendengar caci makian Irni, Rara hanya terdiam dan terseyum. Aku tahu, Rara adalah anak yang sabar, pintar, selain itu juga pintar dalam hal agama, cantik lagi. Ya maklum lah…banyak anak yang sirik, termasuk si Irni itu.
Ih… biasa aja kali Ir, kalau iri ngomong aja,” Vira kesal mendegar sahabatnya di ejek oleh Irni.
Tiba-tiba guru mata pelajaran pertama kelas kami datang.
“Sudah…anak-anak, kita mulai pelajaran kita kali ini,” kata Bu Titi sambil membuka buku matematika,”maaf, tadi saya terlambat.”
*****
                        Beberapa jam kemudian setelah kami menerima dua mata pelajaran, bel istirahat berbunyi. Semua anak keluar dari kelas, termasuk aku dan ketiga sahabatku.
            “Eh…teman-teman, ke kantin yuk…” ajakku kepada ketiga sahabatku.
            “Ayo…mumpung belum penuh,” sahut Intan dan Vira semangat. Namun, Rara hanya diam dan tersenyum, ia hanya mengikuti aku, Intan, dan Vira.
            Sesampainya di kantin sekolah, kami duduk di kursi bermeja yang masih kosong. Kami memesan beberapa makanan untuk kami makan. Saat asyik-asyinya makan, tiba-tiba Putra datang menghampiri kami.
            “Eh, kamu yang namanya Rara ya?”
            “Eemm, iya. Memangnya kenapa?”
            “Oh…tidak apa-apa, aku hanya mau minta maaf atas kejadian tadi di kelas”
            “Ccciiyyeee……ahem…ahem” Sela Vira mengejek Rara.
            “Hush, apaan sih kamu Vir, Eh, maafin temanku ya. Memangnya maaf untuk apa?” Kata Rara.
            “Tadi si siapa itu? Irni ya? mengejek kamu, jadi ya aku mau minta maaf,”
            “Oh, itu. Itu sih biasa. Irni memang sifatnya begitu kok.”
            “Iya tapi aku mau minta maaf boleh kan?”
            Mendengar si anak baru itu memohon-mohon maaf kepada Rara, aku berkata,”Udah Ra, maafin aja. Kalau udah kan beres.”
            “Iya Ra….” Sambung Intan.
            Tiba-tiba, si pengacau alias Irni datang,”wah…wah…wah… Ada anak baru aja langsung di embat. Aduh mba-mba… jangan malu-maluin deh.”
            Aku dan ketiga sahabatku ditambah Putra terkejut mendengar perkataan Irni yang sangat menyebalkan.
            “Eh…maksud mu apa Ir? Ngomong apa kamu?” Vira yang tidak terima dengan perkataan Irni, mencoba menjawab perkataan Irni.
            “Alah…pura-pura ngga tahu lagi”
            “Udah lah Ir, jangan bikin gara-gara disini. Pergi aja sana! dari pada disini buat gara-gara,” Aku mencoba menenangkan suasana.
            Akhirnya dengan raut wajah penuh terpaksa, Irni pun pergi meninggalkan kami.
            “Eh…gimana jawabannya tadi?”, Putra mencoba mengalihkan pembicaraan.
            “Oke lah, kamu saya maafkan, ya walaupun sebenarnya kamu ngga salah sih
            “Oke, makasih Rara, aku pergi dulu ya. Mari semua…”
            Aku, Vira, dan Intan yang telah menunggu Rara untuk berbicara dari tadi, merasa senang karena Rara telah mengeluarkan suaranya, ya walaupun suaranya agak lemas.    
            “Akhirnya, kamu ngomong juga Ra, hehe. Soalnya dari tadi kamu hanya diam tanpa kata gitu” kataku.
            “Benarkah?, hehe. Kalian bingung ya? Santai aja teman, aku nggak kenapa-kenapa kok.”
            “Iya ni Ra, akhirnya kamu ngomong juga. Kamu udah buat kita khawatir tahu!” Tambah Vira dan Intan.
            Saat sedag asyik berbincang-bincang. “Teet…teet…teet…” bel masuk berbunyi. Aku dan ketiga sahabatku seagera menuju ke kelas untuk menerima pelajaran berikutnya.
*****
            Waktu telah berlalu. Jam terakhir hampir usai. Saat itu telah berlangsung pelajaran Bahasa Indonesia. Saat waktu menunjukkan kurang tiga menit untuk pulang, Bu Woro mengatakan bahwa hari Kamis besok SMA Nusantara akan mengadakn Ulangan Akhir Semester satu. Siswa-siswi pun kaget. Ya, mau bagai mana lagi. Harus belajar keras.        
            “teet…teet…teet…” bel pulag telah berbunyi. Saatnya aku dan teman-temanku untuk kembali ke rumah. Aku langsung mengajak ketiga sahabatku untuk pulang. Saat kami hendak menaiki angkot, tiba-tiba aku melihat ada yang aneh dari muka Rara. Rara terlihat pucat dan tidak bersemangat.
            “Ra, apa kamu sakit? mukamu pucat sekali” tanyaku heran.
            “Oh, nggak papa kok, cuma pusing dikit, kecapean kali” sahut Rara lemas.
            Melihat keadaan Rara, aku memberi tahu kepada Vira dan Intan yang telah menaiki angkot terlebih dahulu. Aku membiskan kepada Vira dan Intan bahwa keadaan Rara kelihatannya tidak memungkinkan.
*****
            Beberapa jam kemudian, aku dan ketiga sahabatku telah sampai di depan komplek rumah kami. Namun, untuk mencapai rumah kami masih perlu berjalan beberapa meter.
            Wajah Rara bertambah pucat ketika kami turun dari angkot. Namun ketika aku menanyakan apakah Rara sakit, dia tetap menjawab bahwa ia tidak apa-apa. Aku, Intan, dan Vira semakin cemas dengan keadaan Rara. Memang saat akan berangkat ke sekolah , Rara terihat tidak bersemangat, padahal waktu lari pagi hari Minggu keadaan Rara sepertinya masih sehat dan masih semangat. Akhirnya kami bersama-sama berjalan menuju ke rumah kami masing-masing.
*****
            Hari berikutnya, yaitu hari selasa. Seperti biasa aku dan ketiga sahabatku berangkat sekolah. Aku, Vira, dan Intan menghampiri Rara, namun setelah dipanggil-panggil tidak ada jawaban. Ibu Intan yang mendengar aku, Vira, dan Intan memanggil-manggil Rara, maklum rumah Intan dan Rara kan lumayan berdekatan,
            “Tan, kemarin sore ibu melihat kedua orang tua Rara pergi dari rumah, katanya sih ada pekerjaan mendadak yang harus diselesaikan. Mungkin Rara ikut. Jadi tidak dirumah.”
            “Kenapa ibu baru bilang? ya sudah, kami berangkat sekolah dulu bu,” sahut Intan agak bingung. Tidak hanya Intan yang bingung, aku dan Vira pun ikut bingung. Aku merasa ada yang aneh hari ini dengan sahabatku Rara. Kemarin ia terlihat sangat pucat, sedangkan sekarang ia tidak berada dirumah.
*****
            Sesampainya disekolah. Seperti biasa aku dan sahabat-sahabatku langsung memasuki kelas. Namun, kali ini ada yang aneh. Karena salah satu sahabatku tidak berangkat. Saat aku, Vira, dan Intan sedang membicarakan tentang keadaan Rara sebenarnya mengapa ia tidak berangkat, tiba-tiba Putra datang menghampiri kami,
            “Pagi… eh tumben kalian cuma bertiga? Rara kemana?
            Aku mencoba menjawab pertanyaan Putra dengan penuh kebingungan,”Hemm, itulah yang sedang kita pikirkan. Tadi pagi kita manggil-manggil dia nggak ada jawaban “
“Iya nih, kita lagi bingung, kemarin pulang sekolah muka Rara pucat sekali. Sekarang nggak berangkat sekolah. Sebenarnya Rara kenapa ya?” tambah Vira.
“Hah? jangan-jangan Rara sakit lagi. Kemarin-kemarin dia sempat cerita ke kalian nggak?” Putra cemas. Entah mengapa setelah aku dan Intan mengatakan hal tersebut Putra sangat cemas.
“Dia ngga pernah cerita sedikit pun ke kita kalau dia sakit, kemarin aku sempat bertanya kepadanya apakah dia sakit, dia menjawab tidak,” aku menjawab lagi.
“teet…teet…teet…” tiba-tiba bel masuk berbunyi. Kami langsung duduk di tempat masing-masing. Kali ini aku duduk sendiri, terasa sepi sekali karena Rara tidak masuk sekolah.
*****
Setelah 7 jam aku belajar di sekolah, akhirnya bel pulang berbunyi. Aku, Intan, dan Vira langsung pulang, karena kami ingin mengetahui sebenarnya mengapa Rara tidak bersekolah. Aku dan kedua sahabatku menunggu angkot di depan sekolah. Namun, kebetulan saat itu jalan di depan sekolah sedang diperbaiki, sehingga angkot tidak diperkenankan lewat. Sehingga aku dan kedua sahabatku terpaksa jalan cukup jauh untuk mendapatkan angkot dan pulang. Ketika berjalan, aku melihat seorang gadis yang sangat mirip dengan Rara hendak menyeberang jalan setelah turun dari angkot sendirian menuju ke salah satu rumah sakit di dekat sekolahku. Tetapi karena aku hanya melihat dari belakang, jadi aku tidak yakin kalau itu benar-benar Rara, sehingga aku tidak memberi tahu Vira dan Intan.
Setelah berjalan kaki lumayan jauh, akhirnya kami menemukan angkot yang akan kami gunakan untuk pulang. Setelah melewati perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya kami sampai di depan komplek kami. Namun, aku memutuskan untuk tidak pulang dahulu tetapi pergi ke rumah Rara. Kedua sahabatku pun setuju.
Sesampainya di rumah Rara.
“tok…tok…tok…, Assalamu’alaikum
Beberapa kali kami mengetok pintu dan memberi salam, namun tidak ada jawaban. Namun tiba-tiba,
Wa’alikum salam…,” Sahut seseorang dari dalam rumah Rara, Dan ternyata itu adalah Ibunya. “Eh, kalian, mana Rara?”
Aku dan kedua sahabatku bingung dengan perkataan Ibunya Rara. Lalu aku pun menjelaskan kejadian pagi tadi.
Lho? tante bukannya Rara ikut Tante sama Om pergi kemarin malam? Soalnya tadi pagi aku, Vira, dan Intan memanggil-manggil Rara ngga ada jawaban terus tadi juga Rara ngga ada di sekolah?”
“Iya tante…” tambah Vira dan Intan cemas.
Hah? apa? Rara ngga sama kalian? nggak berangkat sekolah? terus Rara kemana?” Sahut Ibu Rara sangat cemas.
Lho, jadi nggak ikut tante?. Tante, apa akhir-akhir ini tante melihat keanehan pada Rara?” tanyaku dengan penuh kebingungan. Aku tahu, tidak hanya aku yang bingung dan cemas, kedua sahabatku dan keluarga Rara pun sangat bingung dan cemas. Karena selama ini aku mengenal Rara sebagai sahabat yang baik, pintar, dan pokoknya ship lah.
“Terus Rara kemana? selama ini dia nggak pernah kabur dari rumah. Yang tante lihat selama ini juga Rara nggak ada yang aneh.”
Saat sedang cemas memikirkan Rara, tiba-tiba Rara datang dengan muka lemas. Kami semua sangat lega. Ibu Rara langsung memeluk Rara.             “Ra, kamu dari mana? kata teman-temanmu tadi kamu tidak berangkat ke sekolah?” tanya ibu Rara bingung.
“Tadi pagi kepalaku agak pusing jadi, aku ngga berangkat. Ini aku habis beli obat.” Jawab Rara lemas.
Berarti yang kulihat tadi benar Rara, Namun, Aku merasa ada yang aneh dengan Rara. Dia seperti menyebunyikan sesuatu.
“Maaf teman-teman, aku tadi tidak memberi tahu kalian, sekarang aku masuk ke rumah dulu ya, mau istirahat.” Kata Rara.
“Ee….iya Ra, baiklah. Silahkan kamu berisirahat. Kalau besok kamu belum dapat masuk ke sekolah, aku sarankan buat UAS susulan aja.” Saran Intan kepada sahabat tercintanya itu.
“Iya Ra, dari pada nanti malah tambah sakit, semoga sih tidak. Semoga kamu cepat sembuh ya Ra, biar bisa main sama-sama lagi.” tambah Vira.
Rara hanya tersenyum dan menganggukan kepala. Akhirnya Rara dan Ibunya masuk kedalam rumah. Aku merasa Rara sangat berubah dari sebelum-sebelumnya.
“Eh… teman-teman, Rara kok berubah ya?” tanyaku kepada kedua sahabatku.
“Iya, dia seperti menyembunyikan sesuatu, tapi entah apa.” Intan menjawab.
“Ya udah lah, mendingan kita pulang dahulu aja. Besok kan hari ke dua UAS, kita harus belajar. Kita doakan saja Rara agar cepat sembuh.” Ajak Vira kepada ku dan Intan. Akhirnya kami pulang.
*****
            Hari kedua UAS. Seperti biasa aku berangkat dengan Vira, Intan, dan Rara. Kali ini Rara telah bisa berangkat sekolah. Aku sangat senang, ya walaupun keadaannya belum sehat betul. Tapi begitulah Rara, ia ingin sekali pada UAS ini mendapatkan nilai yang bagus dan dapat membanggakan orang tuanya. Padahal, Rara dalam ulangan harian selalu mendapatkan nilai yang baik, tetapi dia belum puas akan hal itu.
*****
            Sesampainya di sekolah, kami langsung menuju ke kelas dan meletakkan tas di tempat duduk lalu belajar bersama sebentar. Tiba-tiba Putra menghampiri kami.
            “Hei … Rara, kamu kemarin nggak berangkat sekolah kenapa?”
            “Aku pusing kemarin, jadi izin sekolah,” jawab Rara.
            “Oh… Tapi sekarang ssudah sembuh kan?”
            “Alhamdulillah sudah mendingan.”
                        “teet…teet…teet…” bel masuk berbunyi. Kami mengerjakan soal satu demi satu, sampai akhir dari mata pelajaran pertama sampai mata pelajaran terakhir.
                        Bel pulang berbunyi. Aku dan ketiga sahabatku bersiap-siap untuk pulang. Saat kami keluar dari gerbang, Putra datang.
                        “Hei…kalian mau pulang?, boleh bareng ya,”
            “Oke, ayo…” sahut Vira.
“Aku salut sama kalian, selalu melengkapi satu sama lainnya, aku dari dulu ingin sekali punya sahabat yang kaya kalian ini. Ngomong-ngomong kalau aku gabung sama persahabatan kalian bagaimana?” Putra menginginkan bersahabat dengan kami.
Oke! kita sih setuju-setuju aja. Berarti sekarang sahabat kita tambah satu donk. Jadi lima,” Sahut Vira dan Intan bahagia.
Saat sedang berbincang-bincang, tiba-tiba Rara pingsan. Kami langsung panic dan akhirnya membawa Rara pulang ke rumah. Setibanya di rumah Rara, ternyata rumah Rara kosong. Ibunya hanya menitipkan pesan bahwa kunci ada di bawah pot. Lalu aku buka rumah Rara, kami langsung membawa Rara masuk ke kamarnya. Saat di kamar Rara, aku melihat ada sebuah buku yang menurutku sih itu buku diari. Aku pun mendekati buku itu. Dan ternyata buku itu adalah buku harian Rara. Karena aku penasaran dengan Rara, mengapa ia kini sering pingsan, akhirnya dengan sangat terpaksa aku ambil buku diari Rara yang terletak di atas meja belajar, lalu aku sembunyikan di tasku. Setelah itu, aku, Vira, dan Intan keluar dari kamar Rara untuk menemui Putra yang duduk di ruang tamu. Kami menunggu sampai orang tua Rara pulang. Tak berapa lama Ibu Rara pulang. Ia kaget melihat aku dan sahabat-sahabatku berada di rumah Rara.
Lho, tumben kalian di sini? ada apa?”
Aku menberitahukan kepada Ibu Rara mengenai keadaan Rara,”Tante, tadi Rara pingsan lalu kami bawa ke rumah. Sekarang Rara sedang di kamarnya dan belum sadar.”
Ibu Rara langsung berlari menuju kamar Rara. Kami berpamitan untuk pulang karena kami harus belajar untuk UAS di hari ketiga.
*****
            Akhirnya aku sampai di rumah. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju ke kamarku dan segera membaca buku diari Rara yang sangat membuatku penasaran. Ku buka perlahan buku itu. Dan di halaman yang terakhir ditulis ternyata,
            “Ayah, Ibu, dan sahabat-sahabatku, maafkan aku. Karena selama ini aku sebenarnya menyembunyikan sesuatu dari kalian karena aku tidak mau merepotkan kalian. Sebenarnya selama ini aku menderita kanker otak. Aku menderita penyakit yang mematikan tersebut sejak aku kelas dua SMP, namun saat itu belum separah sekarang. Sebenarnya kemarin aku tidak berangkat ke sekolah karena aku pergi ke dokter untuk memeriksa keadaanku. Aku bertanya kepada dokter yang menanganiku. Katanya hidupku sudah tidak lama lagi. Padahal pada kesempatan UAS ini, aku ngin sekali menunjukkan prestasiku kepada kedua orang tuaku. Tapi, kalau memang Allah berkata lain, apa yang bisa kulakukan?. Lewat diari ini aku ingin minta maaf ke kalian semua apabila aku punya salah. Maafkan aku.”
            Tak terasa air mataku menetes perlahan setelah aku membaca diari Rara. Ternyata dugaanku benar. Selama ini Rara menyembunyikan sesuatu dari kami. Dan penyakit yang disembunyikan itu sangat membahayakan. Pada saat itu aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Tetapi aku harus segera memberi tahu kepada sahabat-sahabatku dan orang tua Rara. Namun, saat aku sedang bingung, tiba-tiba handphone ku berbunyi, dan ternyata telefon dari Ibu Rara. Ia mengabarkan bahwa Rara dirawat di rumah sakit arena ia beum sadar-sadar juga dari pingsannya dan badannya pun panas. Akhirnya aku langsung menelepon semua sahabatku, yaitu Intan, Vira, dan Putra untuk bersama-sama menjenguk Rara di rumah sakit. Aku mngajak untuk bertemu di gerbang komplek rumah. Setelah berkumpul semua, akhirnya kami berangkat menuju ke rumah sakit tempat Rara dirawat menggunakan angkot.
            Mungkin karena mukaku sangat cemas, Vira bertanya kepadaku,”Ca, kamu cemas banget?, memangnya kamu tahu Rara kena penyakit apa?”
            “Ca, cerita aja sama kita, apa yang sedang kamu pikirkan?” Putra menambahkan.
            “Oke, teman-teman, sebenarnya….”
            “Sebenarnya apa Ca?” Intan memotong pembicaraan.
            “Sebenarnya selama ini Rara menyembunyikan sesuatu dari kita. Ternyata Rara yang baik, ramah, pintar, dan menjadi motivasi bagi kita telah berbohong kepada kita. Sebenarnya kemarin waktu di kamar Rara aku mengambil buku harian Rara dan aku baca semua itu. Ternyata dia terkena penyakit kanker otak stadium akhir. Dan di buku itu ia juga menuliskan bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi. Asal kalian tahu, orang tua Rara belum mengetahui hal ini.” tanpa aku sadari, mataku meneteskan air mata saat bercerita tentang hal itu.
            “Apaaaaa??” Intan, Vira, dan Putra tersontak kaget.
            “Rara ternyata menyembunyikan semua itu? bahkan orang tuanya sendiri pun tidak diberi tahu?” Putra sedikit kesal.
*****
            Perjalanan yang luamayan jauh telah kami tempuh, akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat Rara dirawat. Aku dan sahabat-sahabatku langsung menuju ke ruangan tempat Rara dirawat. Ketika sampai di depan ruangan, Ibu Rara yang didampingi Suaminya telah menangis histeris. Aku tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mengapa kedua orang tua Rara menangis begitu histeris. Apakah mereka telah tahu bahwa anaknya menderita kanker otak?. Tetapi, ternyata aku salah. Ternyata tangis mereka pecah karena Rara sahabatku, Vira, Intan, dan Putra telah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
            Aku tak percaya dengan keadaan ini. Aku merasa bahwa hal ini adalah mimpi bagiku. Aku bingung, aku hanya terdiam dan duduk. Sedangkan Vira dan Intan mencoba menenangkan Ibu Rara sambil menangis. Putra yang juga mAsih tidak percaya dengan keadaan ini duduk disebelahku. Aku bertanya dengan penuh ketdakpercayaan,
”Apakah ini mimpi?”
“Ca, ini adalah sebuah kenyataan yang harus kita jalani. Tadinya aku tidak percaya dengan keadaan ini, tetapi memang ini yang telah terjadi. Kita harus menerima semua ini dengan ikhlas, Ca.” Putra mencoba menenangkanku.
Setelah mendengar perkataan Putra, air mataku yang sudah tidak dapat terbendung lagi, akhirnya pecah menjadi sebuah tangisan. Aku berlari merangkul Vira karena Intan sedang mencoba menenangkan Ibu Rara.
“Vir, sahabat yang selama ini kita banggakan karena dia baik, cantik, pintar, dan selalu menjadi motivasi bagi kita telah tiada”, kataku sambil menangis.
“Iya Ca, aku tahu. Tapi kita bisa apa? ini semua udah takdir Allah Ca, sebaiknya kita berdoa saja biar Rara bisa diterima di sisi-Nya,” Jawab Vira dengan mEnagis pula.
*****
            Hari keempat UAS yang juga merupakan hari pemakaman sahabat tercintaku Rara. Aku dan sahabat-sahabatku terus memikirkan Rara sehingga pada hari keempat itu kami sulit untuk berkonsenterasi. Padahal Rara telah berniat untuk menyelesaikan UAS dengan nilai yang memuaskan, namun takdir berkata lain.
*****
            Sepulang sekolah, tanpa pikir panjang aku dan sahabat-sahabatku langsung menuju ke rumah Rara untuk menberikan penghormatan terakhir. Tangis kami tak bisa dibendung lagi karena kehilangan salah satu sahabat yang sangat baik.
*****
            Setelah kematian Rara, perjalanan persahabatan kami masih tetap berlangsung, namun rasa hampa selalu datang menghantui kami. 
~sekian~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar